TRADISI SEDEKAH BUMI


Assalaamu ‘alaikum Wr. Wb.

Upacara ini sudah menjadi tradisi ( adat ) mulai jaman nenek moyang terdahulu yang tidak lepas dari musyawarah persetujuan warga, besar kecilnya upacara adat untuk sedekah bumi yang dilaksanakan menurut keadaan hasil panen.                                                                                                                              

Apabila hasil bumi dirasakan baik upacara adat sedekah bumi dimeriahkan memakai ritual, gending-gending: Giro Taloen, Srunenan, iling-iling, tari Remo, serta Jula-juli, dengan tumpengan ikannya ayam panggang serta kesenian okol ( permainan gulat model anak desa ), terkadang malamnya disusul pagelaran wayang kulit, atau ludruk.

Tetapi ketika hasil bumi menurun upacara adat untuk sedekah bumi tetap dilaksanakan namun sederhana saja, tumpengan tapi tidak memakai kesenian.

Sebelum ritual dilaksanakan warga wajib berkumpul di Balai Agung ( sekarang Balai Kelurahan ), setelah waktu yang ditentukan semua bergerak bersama-sama / dikirab menuju puncak acara yang  dipusatkan di Pundhen Mbah Singo Joyo yang bertempat di Gg.Made Njeroe ( sekarang Made Barat ) jarak dari Pendopo Agung kira-kira 300 meter.

Upacara adat ini tiap-tiap tahun selalu diadakan setelah musim panen/musim kemarau ( kira-kira bulan Agustus ) pada hari libur atau hari Minggu. Dan tidak pernah berhenti sampai sekarang, bahkan hari ini di tampilkan di Taman Bungkul sebagai asset pariwisata “Surabaya Unik”.

Dengan gebyar semacam ini adat dan kesenian yang unik tinggalan nenek moyang masih bisa  dipertahankan oleh warga Made, dan mendapat dukungan penuh dari Dinas Kebudayaan dan  Pariwisata pemerintah Kota Surabaya.
Dapat dijadikan contoh oleh daerah-daerah lain: Ini Sejarah, Siapa Melalaikan Sejarah Akan Digilas Oleh Roda Sejarah Itu Sendiri.