Jumat, 25 Maret 2011

Kelurahan Made, Kampung Bali di Surabaya

Adakan Ritual Bersama, Rukun meski Beda Agama
Masyarakat Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, bisa jadi merupakan contoh konkret kerukunan hidup antarumat beragama. Beberapa ritual keagamaan di kampung itu dilakukan bersama-sama, meski berbeda keyakinan.

DEDY H. SAHRUL


Kelurahan Made terbentuk dari penyatuan pedukuhan Watulawang, Ngemplak, dan Made. Berbatasan dengan Kabupaten Gresik, pada 15 tahun lalu, kampung itu masih terasing dari perkampungan lain di Surabaya. Terlebih, akses menuju Made saat itu masih berupa jalan tanah atau makadam.


Kini, kondisinya jauh berbeda. Jalan-jalannya beraspal mulus. Made mulai dipadati bangunan. Selain permukiman penduduk, ada sekolah, kantor kelurahan, toko-toko, serta kantor kepolisian. Tak terlihat lagi rawa-rawa di daerah tersebut.


Kawasan yang hanya sekitar 800 meter dari Waterpark Ciputra itu memang tampak berbeda dibandingkan kelurahan lain di Surabaya. Banyak bangunan rumah penduduk yang bergaya arsitektur Jawa, namun mengandung sentuhan rumah adat Bali. Karena itu, sampai ada orang yang menyebut kawasan tersebut sebagai kampung Bali di Surabaya.


Menurut Lurah Made Bambang Sugijarto, Kampung Made dulu bernama Tawangsari. Penggunaan nama Made dilakukan untuk menghormati jasa pejuang revolusi I Made Suganda yang pernah tinggal di kawasan rawa-rawa di pinggiran Kota Surabaya Barat tersebut.


Tokoh itu, kata dia, begitu karismatis. Keberaniannya membela tanah air pantas diacungi jempol. Singkatnya, sosok I Made Suganda mengundang simpati warga. Bahkan, kemudian sejumlah warga memeluk agama Hindu seperti yang dianut I Made Suganda. "Saya tidak hafal kapan perubahan nama itu," ungkapnya.


Oleh warga setempat, I Made Suganda mendapat panggilan akrab Wak Made. Dia digambarkan sangat mewarnai kehidupan masyarakat di situ. Di antaranya, mampu menata daerah Made yang dulu gersang menjadi hijau subur. Rumahnya yang difungsikan sebagai punden tak pernah sepi dikunjungi warga. Rumah tersebut diberi nama Punden Singojoyo. "Wak Made juga mengajak masyarakat hidup rukun, meski berbeda agama," ujar Bambang.


Meski namanya ke-Bali-Bali-an, kebanyakan warga Made memeluk Islam. Hanya segelintir yang beragama Hindu. Bahkan, kini tinggal tujuh keluarga yang menganut Hindu. "Kebetulan, mereka berdarah Madura dan masih sekeluarga," jelasnya.


Menurut Samsari, warga yang rumahnya tak jauh dari Punden Singojoyo, masyarakat sering menggunakan punden tersebut untuk berdoa bersama. Biasanya dilakukan setiap malam Jumat Kliwon. "Ritualnya campuran agama Hindu dan Islam," ujarnya.


Tapi, doa-doanya, kata dia, menggunakan ajaran Islam. "Doanya sama seperti doa tahlilan," katanya.

Perlengkapan doanya mirip yang biasa disiapkan umat Hindu untuk sesaji. "Biasanya masyarakat membawa sesajen, dupa, bunga pancawarna, dan macam-macam makanan," ungkapnya.

Cerita Samsari soal uniknya kehidupan kemasyarakatan dan keberagamaan masyarakat Made itu dikuatkan penjelasan Seniman, sesepuh warga setempat yang kebetulan penganut Hindu. Wak Man, panggilan pria 73 tahun tersebut, menuturkan bahwa kerukunan umat beragama di Kelurahan Made selama ini berjalan apa adanya dan tidak pernah timbul perselisihan antarumat.


Masyarakat Made yang mayoritas muslim sangat toleran terhadap warga lain yang menganut Hindu. "Bahkan, kami sering mengadakan pertemuan bersama," tegasnya.


Wak Man menceritakan, dirinya dulu juga menganut Islam. Pada 1981, ayahnya yang bernama Seno Seniman berpindah ke agama Hindu. "Ayah saya waktu itu dekat dengan Wak Made," ujarnya.


Dari situlah kemudian Seniman dan anggota keluarga yang lain mengikuti jejak orang tuanya, menganut Hindu. Pria berdarah Madura tersebut boleh dibilang menjadi sesepuh umat Hindu yang hingga kini bertahan di Kelurahan Made. "Saya juga saksi sejarah perkembangan Kelurahan Made. Dulu pada 1960-an, saya pernah menjabat lurah Made," katanya.


Puas bernostalgia menceritakan masa lalunya, dia kemudian menjelaskan kehidupan religi masyarakat Made. Tentu itu menurut versi dirinya. "Setiap tahun, baik umat Islam maupun Hindu selalu melakukan ritual bersama ruwat bumi atau sedekah bumi," jelasnya.


Upacara dipusatkan di Punden Singojoyo yang tak lain adalah bekas rumah I Made Suganda. "Pada acara tersebut, seluruh masyarakat Made harus hadir. Tujuannya, untuk keselamatan bersama," tegasnya.


Upacara diawali rapat akbar. Seluruh penduduk dari berbagai kalangan membahas bersama waktu ruwat bumi. "Semua elemen dari pemerintah, tokoh agama, dan perwakilan keluarga hadir," katanya.


Setelah hari H dipastikan, disusunlah rangkaian upacara. "Yang pokok adalah nasi tumpeng raksasa yang kami buat bersama. Ada yang menyiapkan nasi, sayur-mayur, lauk-pauk, dan tetek bengek lainnya," ungkap Wak Man.


Misalnya, ruwat bumi yang diadakan pertengahan Agustus lalu. Masing-masing warga diminta membawa sesaji dari rumah. Sesaji itu merupakan simbol permohonan keselamatan masyarakat kepada Tuhan Yang Mahaesa. "Inti ruwatan itu untuk menghindarkan masyarakat dari bencana sekaligus sebagai bentuk perseduluran antarwarga," jelasnya.


Ritual yang diadakan sehari semalam tersebut juga menampilkan hiburan seperti ludruk serta wayang kulit. "Biasanya, kami mencari lakon yang bertema kekuasaan Tuhan Yang Mahaesa terhadap makhluknya," katanya.


Upacara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin tokoh-tokoh agama, baik dari agama Hindu maupun Islam. "Intinya, kami memanjatkan doa keselamatan dan keamanan bagi masyarakat Made."


Upacara ruwat bumi di Made tersebut selalu menyedot perhatian masyarakat luar. Bahkan, pejabat dari Jakarta sering hadir. "Ruwat bumi kemarin (Agustus, Red) dihadiri anggota DPR," ungkapnya.


Menurut Ketua Peguyuban Sosial Kelurahan Made Muhammad Nasyik Fahmi, ritual ruwat bumi merupakan bagian dari budaya yang berkembang dalam masyarakat Made. Upacara itu diyakini tidak menyimpang dari ajaran Islam.


"Upacara tersebut merupakan akulturasi kebudayaan dan agama. Yang menyatu hanya ritualnya. Secara fikih tetap tidak ada penyatuan," tegasnya.


Tradisi tersebut sebenarnya dilakukan sejak zaman nenek moyang. Dia tak memungkiri bahwa tradisi itu mirip prosesi ritual ajaran dalam Hindu. "Tapi, ya itu tadi, sebatas ritualnya," ujarnya.


Sebenarnya, kata tokoh masyarakat tersebut, ritual tersebut pernah terhenti pada 2001. Namun, selang tiga tahun, ketika terjadi bencana alam tsunami di Aceh, tradisi itu dilanjutkan. "Tujuannya, memohon keselamatan kepada Allah SWT," jelasnya.


Dia menegaskan, sebenarnya upacara itu harus dimaknai sebagai hablum minallah. Artinya, urusan agama harus dikembalikan kepada pribadi masing-masing umat. Apalagi, kata dia, masuknya Islam di Indonesia melalui proses akulturasi budaya dan perdagangan. "Jadi, lebih baik diambil positifnya saja. Anggap itu adalah ajang silaturahmi antarwarga di sini," ungkapnya.

selengkapnya
URL Shorten: http://lintas.me/5TY60kCZ

4 komentar:

  1. maaf, apa ada kontak smean? saya mau mencari informasi mengenai desa made.

    BalasHapus
  2. Saya orang made watulawang asli

    BalasHapus
  3. Sands Casino and Resort - Las Vegas, NV
    Located on the Las 바카라 사이트 Vegas Strip, Sands Casino 샌즈카지노 & Resort is a 메리트카지노 casino and hotel located on the Las Vegas Strip in Paradise, Nevada, United States,

    BalasHapus